Kamis, 18 Februari 2010

Pembentukan Sikap Positif


Pembentukan Sikap Positif

From : Fitriyana Fauziyah



BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. LATAR BELAKANG
Dalam pandangan islam, mahasiswa merupakan komunitas yang terhormat/yang terpuji (QS. Al-Mujadalah: 11), karena ia merupakan komunitas yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmuwan (ulama') yang diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan penjelasan pada masyarakat dengan pengetahuannya itu (QS. At-Taubah: 122). Oleh karenanya, mahasiswa dianggap sebagai komunitas yang penting untuk menggerakkan masyarakat islam menuju kekhalifahannya yang mampu membaca alam nyata sebagai sebuah keniscayaan ilahiyah (QS. Ali-Imron: 191).
Untuk mewujudkan harapan tersebut, salah satunya adalah dibutuhkan keberadaan ma'had yang secara intensif mampu memberikan resonansi dalam mewujudkan lembaga pendidikan tinggi islam yang ilmiah-religius, sekaligus sebagai bentuk penguatan terhadap pembentukan lulusan yang intelek profesional yang ulama' atau ulama' yang intelek profesional. Dan hal ini benar adanya, karena tidak sedikit keberadaan ma'had telah mampu memberikan sumbangan besar bagi bangsa ini melalui alumninya dalam mengisi pembangunan manusia seutuhnya. Dengan demikian, keberadaan ma'had dalam komunitas perguruan tinggi islam merupakan keniscayaan yang akan menjadi pilar penting dari bangunan akademik.
Berdasarkan dari filosofi tersebut, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang memandang bahwa pendirian ma'had dirasa sangat urgen bagi upaya merealisasikan semua program kerjanya secara integral dan sistematis, yang sejalan dan sinergis dengan visi dan misi UIN Malang
Dan selama beberapa tahun didirikannya Ma’had Sunan Ampel Al-Aly yang berlokasi di area kampus UIN Malang ini, terdapat banyak sekali kasus atau fenomena yang muncul di dalam ma’had yang terdiri dari lima bangunan tersebut. Dari fenomena-fenomena yang telah terjadi, tidaklah luput dari peran-peran para pengurus, penangung jawab, pengasuh, murobbiyah, terutama para musyrif/ah. Karena selama ini musyrif/ah merupakan ujung tombak dari seluruh kegiatan dan kejadian yang ada di dalam ma’had.
Dan dalam berperan menjadi musyrif/musyrifah pun, mereka tidaklah mudah dalam melaksanakan tugas dan amanah tersebut. Mereka dituntut untuk dapat mendampingi, membimbing, mengajari, serta mengontrol, dan juga bagaimana mereka dapat membentuk sikap-sikap positif mahasantri yang sekaligus mahasiswa UIN Malang ini sebagai lulusan yang intelek profesional yang ulama’ atau ulama’ yang intelek professional, dan para musyrif/musyrifah merupakan ujung tombak keberhasilan semua program yang ada di ma’had. Dan dari peran yang bisa dikatakan sulit tersebut, para musyrif/musyrifah juga harus menjalankan tugas mereka sebagai seorang mahasiswa UIN Malang.
Seperti halnya fenomena tentang penentangan (ketidakpatuhan) terhadap peraturan yang ada di ma’had, peran musyrif/ah sangatlah dibutuhkan untuk menyelesaikan keadaan tersebut. Karena berawal dari peran musyrif/ah sendirilah semua keadaan tersebut akan mudah untuk diatasi.
Selama ini, peran yang telah diperankan musyrif/musyrifah dalam mnjalankan visi dan misi ma’had khususnya dalam pembentukan sikap positif mahasantri, belum terlihat kejelasannya dan realitanya. Meski mungkin ada beberapa yang bisa dikatakan bahwa sikap positifnya berhasil dibentuk, akan tetapi tidak dapat mewakili seluruh mahasantri yang berada di ma’had. Apalagi di tahun ajaran yang kemarin, telah di buka program SPMB yang mana mayoritas mahasiswa yang diterima juga dari golongan yang bisa dikatakan asing dengan kondisi ma’had dan sistem yang ada pada ma’had.
Pada awalnya, mahasantri yang berada di Ma’had Sunan Al-Aly ketika awal-awal masuk, mereka tidaklah susah untuk diarahkan dan dalam semua kegiatan yang ada pun mereka masih patuh dan mau untuk diarahkan. Akan tetapi, ketika mereka sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan kampus yang sangat komplek dengan berbagai macam karakter yang beraneka ragam dan juga dengan kondisi luar ma’had yang mayoritasnya tidak menyukai adanya ma’had, sikap dan perilaku mahasantri yang ada di ma’had pun sudah mulai terkontaminasi dan sedikit demi sedikit mereka pun melakukan penentangan.
Dari kondisi tersebut, para musyrif/ah yang mana perannya sangatlah penting untuk menyelesaikan problem tersebut juga mengalami kesulitan, meski tidak semuanya melakukan penentangan, karena mereka sudah tidak berhadapan lagi dengan mahasantri yang masih belum tahu apa-apa tentang dunia yang ada dikampus, akan tetapi mereka sudah berhadapan dengan mahasantri yang sudah berani menentang mereka dengan berbagai sikap yang mereka tampakkan. Meski terdapat juga beberapa musyrif/ah yang sudah berpengalaman dalam menangani hal tersebut, mereka tetap juga mengalami kesulitan, bahkan ada juga yang sudah bosan menangani hal-hal tersebut. Apalagi jika dilihat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, terdapat beberapa mahasantri yang cenderung tidak menghiraukan aturan-aturan dan program kegiatan yang ada di ma’had, terutama santri laki-laki.
Oleh karena itu, kami memilih tema “Peran Musyrif/Musyrifah Dalam Pembentukan Sikap Positif Mahasantri MSAA UIN Malang” sebagai judul penelitian yang akan kami lakukan. Dan dengan dilakukan penetilian, kami berusaha untuk mendapatkan kejelasan dan pengetahuan yang selama ini menjadi kendala terhadap jalannya kegiatan yang ada di ma’had.


1. 2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana peran musyrif/ah di MSAA?
2. Bagaimana pembentukan sikap positif mahasantri di MSAA?
3. Bagaimana peran musyrif/ah dalam pembentukan sikap positif mahasantri di MSAA?

1. 3. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui bagaimana peran musyrif/ah di MSAA.
2. Untuk mengetahui bagaimana pembentukan sikap positif mahasantri di MSAA.
3. Untuk mengetahui bagaimana peran musyrif/ah dalam pembentukan sikap positif mahasantri di MSAA.

1. 4. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat akademis
§ Mampu menambah pengetahuan bagi keilmuan psikologi terutama dalam konteks peran
§ Menambah informasi mengenai peran musyrif/ah dalam pembentukan sikap positif mahasantri
2. Manfaat aplikasi/praktis
§ Musyrif/ah mengetahui kelemahannya dalam menjalankan perannya
§ Mahasantri mengetahui peran musyrif/ah yang tidak terlaksana
§ Memberi manfaat (masukan) untuk ma’had, terutama musyrif/ah


BAB II
KAJIAN TEORI

A. Peran Musyrif/ah
1. Pengertian Peran
Menurut kamus Dewan, istilah “peran” bermakna kewajiban yang dipikul oleh seseorang atau segala yang wajib ditanggung oleh seseorang.
2. Pengertian Musyrif/ah
Musyrif/musyrifah berasal dari bahasa arab “asyrofa” yang berarti memuliakan. Sedangkan menurut istilah, musyrif/ah dapat dikatakan sebagai seseorang yang bertugas untuk memuliakan. Akan tetapi, musyrif/ah dalam hal ini adalah seorang mahasiswa diatas semester 3 UIN Malang yang memenuhi kriteria dan kualifikasi khusus.
3. Pengertian Peran Musyrif/ah
Setelah melihat devinisi peran dan devinisi musyrifah, dapat disimpulkan bahwa devinisi peran musyrifah yaitu seseorang yang berkewajiban untuk memuliakan segala yang ada di ma’had, yang termasuk juga mahasantri, yang mana kewajiban tersebut dipikul oleh mahasiswa diatas semester 3 yang memenuhi kriteria dan kualifikasi khusus.
Dan diantara peran-peran musyrif/ah di MSAA yaitu:
§ Menjadi pendamping bagi mahasantri
§ Mengurusi segala kegiatan yang diprogramkan ma’had
§ Memonitoring segala aktifitas yang dilakukan oleh mahasantri
§ Berusaha menyelesaikan problematika yang terjadi pada mahasantri
§ Menjadi tauladan yang baik terhadap mahasantri




B. Pembentukan Sikap Positif
1. Pengertian Pembentukan
Pembentukan yaitu hal, cara dan sebagainya (kamus umum Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta).
2. Pengertian Sikap
Terdapat beberapa pendapat mengenai pngertian sikap, diantaranya yaitu:
a. Masri (1972), mengartikan sikap sebagai kesediaan yang diarahkan untuk menilai atau menanggapi sesuatu.
b. Berkman dan Gilson (1981) mendefinisikan sikap adalah evaluasi individu yang berupa kecenderungan (inclination) terhadap berbagai elemen di luar dirinya. Allfort (dalam Assael, 1984) mendefinisikan sikap adalah keadaan siap (predisposisi) yang dipelajari untuk merespon objek tertentu yang secara konsisten mengarah pada arah yang mendukung (favorable) atau menolak (unfavorable).
c. Hawkins Dkk (1986) menyebutkan, sikap adalah pengorganisasian secara ajeg dan bertahan (enduring) atas motif, keadaan emosional, persepsi dan proses-proses kognitif untuk memberikan respon terhadap dunia luar.
d. Azwar (1995), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran, yaitu:
§ Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak(unfavorable) pada objek tersebut.
§ Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chief, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.
§ Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadic (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
3. Pengertian pembentukan sikap positif
Pembentukan sikap positif yaitu hal atau cara pengorganisasian secara ajeg dan bertahan atas motif, keadaan emosional, persepsi dan proses-proses kognitif untuk memberikan respon terhadap dunia luar secara positif.

C. Pengertian MSAA
Ma’had adalah suatu tempat dimana secara intensif mampu memberikan resonansi dalam mewujudkan lembaga pendidikan tinggi islam yang ilmiah-religius, sekaligus sebagai bentuk penguatan terhadap pembentukan lulusan yang intelek profesional yang ulama' atau ulama' yang intelek profesional.
Sedangkan ide pendirian ma’had sunan ampel Al-‘Aly yang diperuntukkan bagi mahasiswa UIN Malang adalah oleh K.H. Usman Manshur, akan tetapi hal tersebut belum dapat direalisasikan. Dan ide tersebut baru dapat direalisasikan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo. Peletakan batu pertama ma’had tersebut dimulai pada Ahad Wage, 4 April 1999, oleh 9 kyai Jawa Timur dan disaksikan oleh sejumlah kyai dari kota dan kabupaten Malang. Dalam jangka waktu satu tahun, UIN Malang telah berhasil menyelesaikan 4 unit gedung yang terdiri dari 189 kamar (3 unit masing-masing 50 kamar dan 1 unit 39 kamar) dan 5 rumah pengasuh dan 1 rumah mudir ma’had. Dengan selesainya pembangunan ma’had yang direncanakan sebanyak 10 unit, yang kini telah terselaisaikan secara keseluruhan. Sejak 26 Agustus 2000 ma’had tersebut mulai dihuni oleh 1041 santri, 483 santri putra dan 558 santri putri.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian
Penelitian akan kami klasifikasikan kedalam dua jenis pendekatan yaitu, penelitian kuantitatif, karena data yang kami ambil dalam bentuk angka akan diproses secara statistic (Arikunto, 1998). Kemudian, karena penelitian ini bersifat deskriptif maka kami arahkan untuk mendeskripsikan data yang diperoleh dan untuk menjawab rumusan-rumusan masalah, yang mana data diperoleh melalui, pembagian kuesioner, dan wawancara.

3.2 Identifikasi Variabel
Variabel adalah suatu sifat atau fenomena yang menunjukkan sesuatu yang dapat diamati dan nilainya berbeda-beda (Heri Purwanto, 1998: 7). Atau, variabel adalah gejala yang bervariasi yang menjadi objek peneliti (Arikunto, 2002 : 104). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu:
3.2.1 Variabel Independen
Merupakan variabel yang disebut sebagai variabel bebas yaitu yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau terikat (Sugiyono, 2003: 39). Dalam penelitian ini variabel independennya adalah peran musyrif/ah.
3.2.2 Variabel Dependen
Merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjauhi akibat adanya variabel bebas (Sugiyono, 2003: 40). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pembentukan sikap positif mahasantri Ma’had Sunan Ampel Al-Aly.



3.3 Definisi Operasional
Peran Musyrif/Musyrifah Dalam Pembentukan Sikap Positif Mahasantri Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly UIN Malang
Tabel: 3.1
Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Skoring / Klasifikasi
Independen: Peran musyrif/ah. Mendampingi, membimbing, mengajari, serta mengontrol, dan juga bagaimana mereka dapat membentuk sikap-sikap positif mahasantri Kuesioner Jawaban:
1. Sangat setuju,
2. Setuju,
3. Tidak setuju,
4. Sangat tidak setuju.


Diklasifikasikan
Baik:
≥ X

Sedang/Cukup:
≥ X < r =" -----------------------------------------" 2="25-2="23)." ho =" Tidak" hi =" Terdapat"> angka kritis (0.396)
2. Probabilitas kesalahan menolak Ho (p) < a =" 0.05)">

SCHIZOFRENIA


SCHIZOFRENIA

Oleh :
Hamdan Juwaeni (05410012)
Eva Teguh Susilowati (05410017)
Yulia Nisful Laili (05410021)
Ziyadatur Rohmah (05410024)

Nur Istiqomah (05410028)

Miftahul Arifin (05410047)


BAB I

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan entah itu dari sisi alam, ekonomi, sosial, budaya, ataupun dari sisi manusianya sendiri. Lihat saja setiap tahun secra beruntun negeri indah ini telah mengalami berbagai bencana, mulai dari banjir, gempa bumi, tsunami, kebaran hutan dan lain sebagainya. Ekonomi kita yang makin terpukur dengan meningkatkan harga kebutuhan pokok, yang menyebabkan masyarakat menjadi terjepit dengan berbagai problema kehidupan. Akibat dari keadaan seperti itulah kemudian timbul berbagai perilaku abnormalitas, seperti perampokan, pembunuhan, korupsi, dan lain sebagainya. Sebagian masyarakat pun mengalami depresi bahkan banyak yang sampai mengalami schizophrenia.
Kali ini kita akan membahas lebih mendalam apa dan bagaimana itu sebenarnya skizofrenia, dan bagaimana seharusnya kita menyikapi, dan mengahadapi orang-orang ini. Karena selama ini banyak sekali orang-orang yang menganggap skizofrenia ini sebagai ketidakwarasan dan dianggap negatif.
Skizofrenia bukan kutukan dan tidak perlu dianggap memalukan. Yang harus kita lakukan adalah dengan pengobatan dini (dalam tahun pertama setelah serangan pertama) yang memadai, sepertiga penderita akan sembuh total, sepertiga lain bisa kembali ke masyarakat meski masih memiliki sedikit disfungsi dan perlu pengobatan lanjut. Sedangkan sisanya menuju kemunduran mental sehingga harus menghuni rumah sakit jiwa.
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Karenanya, penting untuk mengenal gejala dini skizofrenia. Hal ini mengemuka dalam pertemuan bulanan Himpunan Jiwa Sehat Indonesia (HJSI) di Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 29 Januari 2005 (Kompas, 31 Januari 2005).
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan di paparkan secara mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan skizofrenia.


BAB II
LANDASAN PENGETAHUAN

A. PENGERTIAN
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa yang retak (skizos artinya retak, dan frenas artinya jiwa). Menurut psikiater dr Tubagus Erwin Kusumah SpKJ, jiwa manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu perasaan, kemauan, dan pikiran. Pada orang yang jiwanya tidak retak, ketiga unsur ini senada. ''Artinya kalau perasaan lagi senang, maka kemauan dan pikirannya mendukung. Kalau lagi sedih, ketiga-tiganya menurun,'' papar dokter jiwa pada RSPAD Gatot Subroto ini.
Menurut pendapat lain Skizofrenia berarti “kepribadian yang terbelah”, yaitu hilangnya sebagian besar hubungan kesadaran yang logis antara tubuh dan jiwa (disintegrasi). Sehingga dalam beberapa keadaan perilakunya tidak sejalan dengan keadaan emosinya. Hal ini terjadi karena secara mental, kepribadian penderita gangguan ini memang terbelah sehingga mempunyai kecenderungan tubuhnya hidup pada satu dunia tetapi jiwanya berada pada dunia yang lain yang menyebabkan penderita cenderung dianggap “gila”.
Menurut situs resmi www.schizophrenia.com, skizofrenia adalah penyakit yang diakibatkan gangguan susunan sel-sel syaraf pada otak manusia.
"Skizofrenia merupakan gangguan yang ditandai dengan disorganisasi kepribadian yang cukup parah, distorsi realita dan ketidakmampuan berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari. Seseorang yang mengalami skizofrenia tanpa biasanya pikirannya tidak teratur, dan mungkin mengalami delusi atau halusinasi pendengaran.
Skizofrenia mewakili suatu spectrum gangguan yang luas, sehingga sulit sekali untuk menarik kesimpulan secara umum tentang suatu jenis skizofrenia tertentu. Tetapi terdapat satu perbedaan yang berguna adalah kategorisasi skizofrenia akut, yang berhubungan dengan serangan gejala psikotik yang berat. “psikotik” bergubungan dengan suatu keadaan pada seseorang yang sama sekali tidak berhubungan dengan realitas dan tidak mampu memisahkan antara kenyataan dan ketidaknyataan.

B. SEBAB-SEBAB SKIZOFRENIA
Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyerang jiwa manusia. Tapi walaupun demikian, factor neurologist juga turut berpengaruih terhadap timbulnya skizofrenia. Di bawah ini terdapat beberapa sebab timbulnya skizofrenia, yaitu:
1. Sebab organis, yaitu adanya perubahan-perubahan pada struktur system syaraf sentral
2. Tipe pribadi yang schizothyme (pikiran yang kacau balau) atau jasmaniah yang asthenis, dan mempunyai kecenderungan menjadi skizofrenia.
3. Gangguan kelenjar-kelenjar; adanya disfungsi pada endokrin seks, kelenjar adrenal dan kelenjar pituitary (kelenjar di bawah otak). Atau akibat dari masa klimakterik atau menstruasi. Kadang-kadang karena kelenjar-kelenjar thyroid dan andrenal yang mengalami athrofi.
4. Adanya degenerasi pada energi mental. Hal ini didukung dengan lebih dari separoh dari jumlah penderita skizofrenia mempunyai keluarga yang psikotis atau sakit mental.
5. Sebab-sebab psikologis; kebiasaan-kebiasaan infantile yang buruk dan salah. Individu tidak mempunyai adjustment terhadap lingkungannya. Ada konflik-konflik antara duperego dan id (Freud).

Tetapi pada beberapa kasus, factor kepuasan terhadap kondisi tubuh juga mempengaruhi terjadinya skizofrenia. Pada orang yang mempunyai cacat pada tubuhnya (defek organis) berpotensi menimbulkan perasaan-perasaan tidak mampu dan min-compleks, atau integrasi kepribadian yang miskin sekali. Perasaaan-perasaan seperti ini cenderung berlangsung secara terus menerus. Meskipun masalah fisik yang ada dapat dikurangi dengan jalan operasi. Yang pada akhirnya menimbulkan pribadi yang abnormal.

C. KARAKTERISTIK SKIZOFRENIA :
1. Gangguan Pikiran
Penderita skizofrenia mengalami gangguan dalam cara berpikir maupun isi pikirannya.
a. Cara berpikir
Neologisme, disini penderita memiliki frasa-frasa kata yang baru dimana frasa kata tersebut hanya bisa dimengerti oleh dia sendiri. Dalam pembicaraanpun mencerminkan asosiasi longgar dimana ide-ide yang dibicarakan meloncat-loncat dan tidak berhubungan. Selain itu penderita dipengaruhi oleh bunyi kata ketimbang maknanya.
b. Isi pikiran
Kebanyakan penderita skizofrenia mengalami waham/delusion ( suatu perasaan atau keyakinan yang keliru yang tidak bisa diubah dengan penalaran maupun penyajian fakta ).
Macam waham/delusion :
a) Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
b) Delusion of influence = waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
c) Delusion of passivity = waham tentang gerakan tubuh, pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar.
d) Delusion of perception = waham yang berhubunagn dengan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik,
2. Gangguan Persepsi
Penderita seringkali merasakan bahwa dunia tampaknya “berbeda” bagi mereka. Penderita merasa bagian tubuh mereka tampak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Gangguan persepsi yang paling dramatis dinamakan halusinasi. Halusinasi auditorik/dengar ( biasanya penderita mendengar suara yang menyuru penderita berperilaku tertentu maupun mengomentari perilakunya ) merupakan halusinasi yang sering terjadi. Halusinasi visual/lihat ( penderita melihat sesuatu yang asing ) agak jarang ditemukan. Halusinasi sensorik lain ( penderita merasa ada suatu bau buruk yang keluar dari tubuhnya, merasa kulitnya ditusuk-tusuk ) juga jarang ditemukan.
3. Gangguan Afek
Pada umumnya penderita tidak merasakan emosi apa-apa. Penderita tidak mampu merespon stimulus emosi dengan benar. Sebagai contoh penderita mungkin tidak menunjukan emosi saat diberitahu kalo anaknya meninggal atau tertawa saat mendapat berita yang tragis.
4. Gangguan Perilaku
Penderita biasanya menunjukan aktivitas motorik dan ekspresi wajah yang aneh. Ada juga yang melakukan gerakan yang tak lazim tanpa berhenti atau mempertahankan dalam periode waktu yang lama atau cenderung mematung.
5. Gangguan Kemampuan untuk Bekerja
Pada umumnya penderita kehilangan motivasi kerja dan keterampilan sosial. Selain itu penderita tak memperhatikan kesehatan ( tidak mau mandi ). Dan tidak mampu berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.

D. GEJALA-GEJALA
Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak kanak-kanak. Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Gangguan atensi: anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi. Pada anak perempuan tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang dan ekspresi wajah sangat terbatas. Sedangkan pada anak laki-laki sering menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Namun secra umum skizofrenia mempunyai beberapa gejala yang seringkali tampak pada penderita gangguan ini. Di antara gejala-gejala yang umumnya terjadi adalah:
o Realitas yang berbeda
Sebagaimana orang yang normal, setiap orang memiliki perspektif sendiri-sendiri dalam menghadapi hidup. Begitu juga pada penderita skizofrenia. Ia juga mempunyai perspektif sendiri dalam menanggapi hidup. Tetapi pada penderita skizofrenia, perbedaan perspektif tersebut terlihat sangat mencolok dan cenderung terbalik daripada perspektif orang lain secara umum, yang tidak ada alasan yang logis terhadap perspektif-perspektif yang ada.
o Halusinasi
Penderita skizofrenia seringkali terganggu oleh hal-hal yang sebenarnya tidak ada (halusinasi). Halusinasi ini meliputi halusinasi auditori atau halusinasi suara; penderita mendengar suara-suara tanpa tahu dari mana datangnya. Biasanya, suara-suara yang didengarnya berasal dari luar kepalanya yang sering digambarkan dengan suara-suara yang berlanjut, peringatan akan bahaya-bahaya yang segera dating atau suara-suara yang memberitahu pernderita tentang suatu hal yang harus dilakukan. Halusinasi visual, yaitu penderita seringkali melihat suatu objek yang tidak dilihat orang lain. Halusinasi peraba, yaitu penderita merasakan sensasi-sensasi tanpa bentuk yang pasti.
o Delusi
Yaitu keyakinan yang salah pada penderita terhadap suatu hal tanpa adanya alasan dan bukti yang logis. Pada gejala ini, penderita seringkali merasa bahwa orang lain akan menangkap dan menyakitinya. Atau sebaliknya, penderita seringkali merasa bahwa ia adalah seorang tokoh yang besar.
o Asosiasi yang tidak logis
Penderita skizofrenia seringkali mengucapkan kata-kata yang tidak berhubungan sama sekali. Pikirannya kacau, sehingga kata-kata yang diucapkan terdengar ngawur dan tidak bisa dimengerti oleh orang normal.
o Hilang perasaan-perasaan
Pada gejala ini, penderita dapat dikatakan mati rasa. Respon penderita terhadap suasana di luar dirinya sangat buruk. Ia tidak merasa gembira pada suasana lingkungan yang gembira, dan ioa tidak merasa sedih walaupun suasana lingkungannya sedang berduka.
o Mental yang buruk
Biasanya, pada awal timbulnya gangguan ini, kondisi mental penderita cenderung menurun, baik itu kecerdasan maupun kemampuan mental penderita dalam menanggapi rangsang dari luar.
o Secara fisik, penderita skizofrenia seringkali mengalami gangguan pda tingkah laku stereotips; kadang-kadang ada gerak-gerak motorik yang lamban, tidak teratur dan kaku dan sering nertingkah aneh.

E. JENIS-JENIS SKIZOFRENIA
a. Schizophrenia Hebephrenic
Skizofrenia jenis ini adalah jenis skizofrenia yang paling umum dengan gejala-gejala:
§ Terjadi regresi total menuju kekanak-kanakan
§ Adanya reaksi sikap dan tingkah laku yang kegila-gilaan, suka tertawa untuk kemudian menangis tersedu-sedu. Mudah tersinggung atau sangat irritable. Sering dihinggapi sarkasme (sindiran tajam) dan kenarahannya meledak-ledak atau jadi eksplosif tanpa sebab.
§ Pikiran selalu melantur, banyak tersenyum-senyum; wajahnya selayu grimassen (perat-perot) tanpa adanya stimulus. Sedangkan halusinasi dan delusinya biasanya bersifat aneh dan mudah berganti-ganti.
b. Schizophrenia Catatonic
Catatonic berarti kaku. Seperti artinya, skizofrenia jenis ini mempunyai beberapa gejala;
§ Urat-uratnya menjadi kaku dan beku (chorea-flexibility) yang terjadi secara tak sadar. Anggota badannya sering berlama-lama dalam posisi yang sama.
§ Adanya pola tingkah laku stereotips, atau adanya gerak-gerak otomatis dengan tingkah laku yang aneh tanpa disadari.
§ Adanya gejala stumor, yaitu merasa terbius disertai delusi-delusi kematian dan tanpa respons sama sekali terhadap lingkungan.
§ Tetapi kadang-kadang disertai catatonic excitement, yaitu sikap yang meledak-ledak dan ribut tanpa sebab.
c. Schizophrenia Paranoid
Skizofrenia jenis adalah jenis yang sangat rentan terhadap delusi, baik itu berupa delusi-delusi yang positif atau yang negative. Gejala-gejala yang sering tampak pada penderita adalah:
§ Penderita seringkali merasa terancam; ditipu, diamati, diikuti, disakiti bahkan hendak dibunuh (jenis persecutory).
§ Pada paranoida jenis lain, penderita sering merasa bahwa dirinya adalah orang yang hebat dan berbakat (jenis grandiose)
§ Penderita sering merasa mencintai (terobsesi) secara mendalam pada seseorang yang melebihi batas kewajaran (jenis erotomatic).
§ Penderita sering merasa dihinggapi sesuatu atau penyakit yang parah yang sebenarnya tidak ada (jenis somatic).
§ Penderita sering merasa cemburu yang berlebihan dan tanpa alasan yang logis pada pasangannya (jenis pencemburu).
d. Schizophrenia Simplex
Skizofrenia jenis ini seringkali timbul pada masa pubertas dengan beberapa gejala;
§ Kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan disertai dengan gangguan proses berpikir.
§ Sering terjadi perilaku-perilaku yang tidak bermakna, tidak ada minat, tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara social.

F. PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA
o Sikap menerima adalah langkah awal penyembuhan
o Penderita perlu tahu penyakit apa yang diderita dan bagaimana melawannya.
o Dukungan keluarga akan sangat berpengaruh Keluarga harus membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri si penderita. Mereka harus sabar menerima kenyataan, karena penyakit skizofrenia sulit disembuhkan.
o Perawatan yang dilakukan para ahli bertujuan mengurangi gejala skizpofrenik dan kemungkinan gejala psychotic.
o Penderita skizofrenia biasanya menjalani pemakaian obat-obatan selama waktu tertentu, bahkan mungkin harus seumur hidup
BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditengarai oleh gangguan pada pikiran, perasaan, dan tingkah laku penderita. Penyakit ini dapat diperoleh dari factor genetic maupun lingkungan. Skizofrenia dapat disembuhkan, atau setidaknya dikontrol gejalanya sehingga penderita bisa produktif. Skizofrenia tidak selalu berasosiasi dengan kegilaan. Seringkali penderita berpenampilan normal, namun ketika diajak bicara terasa tidak nyambung, merasa mendengar suara-suara atau melihat sesuatu/halusinasi tergantung pada tingkat skizofrenia yang diderita.
Sebagian besar penderita skizofrenia banyak mendapatkan manfaat dari pengobatan. Mereka hanya akan mengalami satu kali episode penyakit dalam kehidupannya dan tidak terulang lagi. Namun sebagian yang lain, ada yang mengalami episode penyakit yang berulang selama beberapa minggu atau beberapa tahun selepas sembuh.
Seorang penderita skizofrenia adalah tidak jauh berbeda dengan manusia normal seperti pada umumnya. Perhatian dan dukungan sangatlah ia butuhkan dalam proses penyembuhannya. Oleh karena itu betapa sangat pentingnya dukungan keluarga, teman-teman dan lingkungan sekitar bagi kesembuhan para penderita.
Yang harus dan perlu diingat, jangan pernah memanggil mereka (para penderita Skizofrenia) dengan kata “Orang Gila”. Mereka adalah manusia sama seperti kita, yang butuh perhatian, dukungan, dan kasih sayang, hilangkan persepsi negative tentang mereka dari pikiran anda.

DAFTAR PUSTAKA

Supratinya,A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal.Yogyakarta: Kanisius
Tristiadi, dkk. Psikologi klinis. Graha ilmu. Yogyakarta. 2007.
Www.Schizophrenia.Com. Minggu, 29/08/2004.
Http://Www.Kompas.Com. Kenali Gejala Dini Skizofrenia demi Penyembuhannya. 31 januari 2005.
Http://Www.Ums.Ac.Id/Fakultas/Psikologi/Modules.Php. Skizofrenia, 02 September 2004.
Http://id.wikipedia.org. Skizofrenia 20 Sep 2007
Http://Www.Sivalintar.Com/Skizofrenia.Html. Skizofrenia. 4 Sep 2007




REVIEW JURNAL


"Kepuasan hidup orang lanjut usia dalam hubungannya dengan jenis aktivitas, jenis kelamin, religiositas, status perkawinan, tingkat kemandirian, tingkat pendidikan dan daerah tempat tinggal "
By. Fitriyana Fauziah


Latar Belakang

Hampir semua orang yang hidup berkeinginan untuk berumur panjang, dan untuk mencapai hal itu orang mau melakukan apa saja. Keinginan yang besar itu didukung oleh kualitas hidup yang semakin baik sehingga usia harapan hidup semakin tinggi, oleh karena itu jumlah orang lanjut usia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Harapan, keinginan, dambaan, dan kebutuhan semua orang adalah kebahagiaan. Kebutuhan ini semakin mendesak pada orang lanjut usia , karena masa usia lanjut merupakan fase terakhir dalam kehidupan manusia. Dan penelitian ini mengungkap kebahagiaan hidup orang lanjut usia melalui kepuasan hidupnya dan melihat hubungannya dengan berbagai factor, yaitu jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian , tingkat pendidikan, dan juga perbedaan kepuasan hidup antara orang lanjut usia pria dan wanita, yang menikah dan janda atau duda, dan yang bertempat tinggal di desa dan dikota.
Orang lanjut usia adalah orang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Masuknya usia ini ditandai dengan berbagai perubahan, baik fisik maupun psikologis. Perubahan fisik yang terjadi adalah penurunan kekuatan fisik, stamina, dan penampilan. Penurunan intelegensi yang diungkap pada lanjut adalah penurunan dalam hal mereaksi atau pada kemampuan visual motor flexibility, yaitu kemampuan untuk berpindah secara lincah dalam bidang koordinasi mata dan motorik (Haditono, 1989). Terjadinya penurunan pada orang lanjut usia ditandai dengan penurunan aktivitas, dan menurunnya berbagai keterikatan social maupun psikologis (Neugarten, dkk, 1968). Dan menurunnya peran dan partipasi social (Ferraro). Dalam penelitian ini disebutkan bertujuan untuk mengetahui kepuasan hidup orang lanjut usia ditinjau dari jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemanditian, dan tingkat pendidikan.


Hipotesis

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kepuasan hidup orang lanjut usia ditinjau dari jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian, tingkat pendidikan, dan daerah tempat tinggal. Hipotesis yang digunakan dalam metode ini terdiri atas satu hipotesis mayor dan empat hipotesis minor, juga hipotesis mengenai perbedaan. Sample dalam metode ini terdiri dari 100 orang lanjut usia pria dan wanita yang bertempat tinggal di kota dan 100 orang lanjut usia yang bertempat tinggal di desa, yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive random sampling.

Metode

Kepuasan hidup orang lanjut usia berfungsi sebagai variable tergantung dalam penelitian ini. Ada tujuh variable yang berfungsi sebagai variable bebas yaitu, jenis aktivitas , jenis kelamin, religiositas, status perkawinan, tingkat kemandirian, tingkat pendidikan, dan daerah tempat tinggal. Sebagai variable tergantung yaitu, kepuasan hidup orang lanjut usia.
Populasi dalm penelitian ini adalah ornga lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas. Dan sample dalam penelitian ini adalah para lanjut usia pria dan anita yang tidak tinggal di Panti Wreda. Subyek pria dan wanita masing-masing berjumlah 100 orang lanjut usia yang terdiri dari, 50 orang yang tinggal di kota dan 50 orang yang tinggal di desa. Kota yang ditetapkan untuk pengambilan sample adalah daerah yang termasuk dalam wilayah Kota Madya Semarang, dsedangkan desa yang dijadikan untuk tempat pengambilan sample adalah delapan desa swadaya tang yang tersebar di empat kecamatan di ilayah Kabupaten Demak.
Data analisis digunakan dua macam teknik analisis, yaitu analisis regresi dan analisis variansi. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode angket. Ada empat buah angket yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu angkeyt jenis aktivitas, reliogitas, kemandirian, dan kepuasan hidup orang lanjut usia. Jenis kelamin, status perkawinan, dan tingkat pendidikan didasarkan pada data yang diberikan subyek, sedangkan daerah tempat tinggal adalah sesuai dengan tempat pengambilan data yang sudah ditentukan sebelumnya.

Hasil Penelitian

Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian, dan tingkat pendidikan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia (F=18,316dan p=0,000).
Tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis aktivitas dengan kepuasan hidup orang lanjut usia (r =0,129 dan p=0,067). Tetapi hubungan antara aktivitas hiburan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia adalah sangat signifikan (rxly=0,441 dan p=0,000). Sedangkan hubungan antara aktivitas produktif dengan kepuasan hidup orang lanjut usia adalah negative dan sangant signifikan (rx2y=-0,222 dan p=0,001).
Adanya hubungan yang sangat signifikan antara religiositas dengan kepuasan hidup orang lanjut usia (r =0,188 dan p=0,008).
Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara tingkat kemandirian dengan kepuasan hidup orang lanjut usia (r =0,316 dan p=0,001).
Ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia (r =0,214 dan p=0,001).
Terdapat perbedaan kepuasan hidup yang sangat signifikan antara orang lanjut usia pria dan wanita (f=69,862 dan p=0,000). Berdasarkan nilai rerata, ternyata bahwa kepuasan hidup orang lanjut usia pria lebih tinggi daripada wanita. Hanya pada aspek kedua kepuasan kepuasan hidup orang lanjut usia, pria dan wanita tidak berbeda (t =1,339 dan p=0,179).
Tidak da perbedaan kepuasan hidup yang signifikan antara orang lanjut usia yang bertempat tinggal di desa dan di kota (f=1,167 dan p=0,1281). Namun demikian, ada perbedaan pada aspek pertama dan kedua dari kepuasan hidup orang lanjut usia dengan rerata orang desa lebih tinggi dari orang kota, sedangkan pada aspek ketiga, rerata orang kota lebih tinggi daripada orang desa.


Pembahasan

Menurut Neugarten, kepuasan hidup adalah ukuran kebahagian dan mempunyai lima aspek, yaitu: merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari, menganggap hidupnya penuh arti dan menerima dengan tulus kondisi hidupnya, merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar hidupnya, mempunyai citra diri yang positif, mempunyai sikap hidup yang optimistic dan suasana hati yang bahagia. Orang lanjut usia yang mengalami post power sindrom kepuasan hidupnya akan menurun karena mereka belum dapat menerima kenyataan hidup yang dialaminya sekarang, yang dahulunya mereka menjadi orang-orang yang terpandang, berhasil, dan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dan pada usia lanjut mereka kehilangan semua itu.
Aktvitas yang menghasilkan uang jauh lebih tinggi nilainya, sebab hal ini menunjukkan bahwa seseorang masih mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat (Fenfler, 1984). Sedangkan aktifitas produktif bisa dilakukan orang hanya karena kewajiban dan tanggung jawab untuk memberi nafkah bagi keluarga dan bukan karena merasa senang untuk melakukannya. Berhubungan dengan masalah hidup orang lanjut usia, kepuasan hidup pria lanjut usia yang bekerja jauh lebih tinggi daripada yang tidak bekerja. Berbeda dengan wanita, wanita lanjut usia yang tidak bekerja kepuasan hidupnya jauh lebih tinggi daripada wanita yang bekerja (Soenaryo, 1990).
Perbedaan antara pria dan wanita dapat dilihat sebagai hasil interaksi antara faktor fisiologis, pengaruh psikologis, dan pengalaman. Dengan interaksi faktor-faktor tersebut, pria dan wanita berbeda dalam berbagai hal (Kimmel, 1990). Kelompok budaya yang berbeda, berbeda pula dalam menafsirkan kewajiban dan wewenang lelaki dan perempuan baik dalam keluarga maupun dalam lapangan kerja (Jatman, 1954). Stewart dan Shapiro mengatakan bahwa apabila mengalami kegagalan, pria tidak terlalu negatif dalam mengevaluasi dirinya dan mempunyai kemampuan memimpin yang lebih baik daripada wanita. Wanita yang berkewajiban menjalankan tugas-tugas di rumah tidak mengenal pensiun, sehingga kurang mendapatkan kesempatan untuk mencari hiburan. Shaffer dkk mengatakan, bahwa pria lebih mandiri dan kompetitif. Dengan adanya perbedaan tersebut maka menjadikan kepuasan hidup orang lanjut usia pria lebih tinggi daripada wanita.
Religositas berasal dari kata religi yang berarti agama. Religiositas seseorang adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan yang supra empiris. Manusia yang memiliki religiositas, meletakkan harga dan makna tindakan empirisnya di bawah yang supra empiris (Madjid, 1997). Moberg mengatakan bahwa keyakinan terhadap Tuhan akan meringankan penderitaan saat orang merasa sedih, kesepian dan putus asa serta mereka dapat memperoleh kekuatan darinya. Orang lanjut usia yang kurang religius, mempunyai tingkat kepuasan kepuasan hidup yang lebih rendah, sedangkan yang religiositasnya terbina dengan baik menunjukkan tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi.
Hampir semua orang dewasa akan menikah pada suatu saat dalam hidupnya, tetapi tidak semua orang menikah dan tidak setiap orang yang menikah tetap dalam ikatan perkawinan sampai mati. Orang lanjut usai yang mengalami perceraian, kepuasan hidupnya paling rendah. Menurut Zimbardo bahwa kehilangan pasangan dapat menimbulkan rasa kesepian dan mengakibatkan berkurangnya kepuasan hidup. Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa kepuasan hidup orang lanjut usia yang menikah lebih tinggi daripada para lanjut usia yang janda atau duda.
Kemandirian mencakup pengertian dari beberapa istilah, yaitu autonomy, indenpendency, dan self-reliance(Masrun, dkk, 1986). Individu yang mempunyai otonomi, tingkah lakunya merupakan hasil kekuatan atau dorongan dari dalam dan tidak karena pengaruh orang lain, mempunyai kontrol diri, mampu mengembangkan sikap kritis, dan mampu membuat keputusan secara bebas tanpa dipengaruhi orang lain (Brawer dalam Soetjiningsih, 1992). Kehilangan kemandirian dan meningkatnya ketergantungan pada orang lanjut usia tidak selalu karena menurunnya kemampuan fisik maupun mental, tetapi juga karena lingkungan sosial yang menerimanya sebagai hal yang wajar dan membangun ketidak mampuan dengan selalu menawarkan bantuan meski tidak diinginkan dan dibutuhkan (Baltes, 1995). Keinginan untuk mandiri merupakan faktor utama dari kemandirian, yaitu keinginan untuk melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Pendidikan sebagai suatu proses mencakup semua bentuk aktivitas yang menstimulasi individu untuk berfikir, berpartisipasi, dan berbuat sesuatu (Crow dan Crow, 1958). Tingkat pendidikan yang rendah dan kehidupan menjanda atau menduda merupakan prediktor yang signifikan dari ketidakpuasan (Baldassare, dkk, 1984). Pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang untuk mencapai kedudukan yang lebih baik dadalam masyarakat (Haditono dan Singgih, 1991). Dan dalam hasil penelitian di atas menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia.
Tempat tinggal dibedakan menjadi desa dan kota. Desa adalah unit pemusatan penduduk yang bercorak agraris, jumlah penduduk kecil dan kepadatan penduduk rendah. Pekerjaan di desa banyak tergantung pada alam dan tidak banyak bervariasi. Obyek pekerjaan di desa adalah tanaman dan hewan. Daerah pedesaan pada dasarnya homogen baik dalam bidang pekerjaan, bahasa, dan adat istiadat. Interaksi sosial bersifat personal, langsung berhadap-hadapan dan setiap orang mengenal orang lain secara baik tanpa harus mencatat nama, alamat, dan pekerjaan yang bersangkutan (Khairuddin, 1992). Sedangkan kota adalah suatu pemikiman yang cukup besar, padat dan dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Fungsi kota yang khas adalah sebagai pusat kegiatan seni dan budaya, industri, perdagangan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, pemerintah serta kemewahan. Sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat, lebih besar, dan lebih banyak sehingga relatif lebih mudah mendapatkan uang dari pada di desa. Hal ini merupakan faktor penarik yang menyebabkan banyak orang desa melakukan urbanisasi atau pindah kepentingan kota (Soekanto, 1990). Dalam penelitian disebutkan bahwa kepuasan hidup orang lanjut usia di desa tidak berbeda dengan yang bertempat tinggal di kota.



Kesimpulan dan Saran

Adanya hubungan yang sangat signifikan pada kepuasan hidup orang lanjut usia dengan jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian, dan tingkat pendidikan, tetapi jenis aktivitas hubungannya tidak dominan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia.
Kepuasan hidup antara orang lanjut usia pria dan wanita terjadi perbedaan yaitu, pria lebih tinggi daripada wanita. Begitu juga dengan orang lanjut usia yang menikah dan janda atau duda, adalah orang lanjut usia yang menikah tingkat kepuasan hidupnya lebih tinggi daripada yang janda atau duda. Dan dalam perbandingan antara orang lanjut usia yang bertempat tinggal di desa dan di kota, tidak terdapat perbedaan dalam kepuasan hidup.
Orang lanjut usai yang merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar tujuan hidupnya, mempunyai citra diri yang positif, mempunyai sikap hidup yang optimistic dan suasan hati yang bahagia, dan tidak mengalami post power sindrom, pria lebih tinggi daripada wanita, yang menikah lebih tinggi daripada janda atau duda, dan yang berhubungan dengan tingkat pendidikan. Dan orang lanjut usia yang mengaaggap hidupnya lebih berarti dan menerima dengan tulus kondisi kehidupannya, menunjukkan tidak adanya perbedaan antara faktor-faktor diatas.
Sebaiknya orang lanjut usia mendapatkan kesempatan yang luas untuk dapat melakukan aktivitas yang digemarinya. Seharusnya orang lanjut usia meningkatkan religiositas dan tetap mempertahankan kemandiriannya. Dan bagi orang lanjut usia wanita, janda atau duda, dan yang kurang pendidikan, sebaiknya tetap berusaha untuk mencapai kepuasan hidupnya, dan orang lajut usia yang mengalami post power sindrom tetap berusaha memperbaiki dirinya.


Personality and Emotional Memory: How Regulating Emotion Impairs Memory For Emotional Events


Personality and Emotional Memory: How Regulating Emotion Impairs Memory For Emotional Events

By. Fitriyana Fauziah


SUMMARY JOURNAL
INGATAN TENTANG EMOSI DAN KEPRIBADIAN: BAGAIMANA PENGATURAN EMOSI MENGHALANGI INGATAN PADA KEJADIAN-KEJADIAN EMOSIONAL

Studi 1, menunjukkan bahwa orang yang lebih berusaha dalam menekan perilaku emosi yang expresive selama pemutaran sebuah film yang memuakkan atau menjijikkan, ingatan perincian visualnya kurang bagus dari pada orang yang hanya berusaha seadanya.
Studi 2, sama halnya dengan studi yang 1, menunjukkan bahwa orang yang meletakkan banyak usaha dalam menekan perilaku emosi yang expresive selama pemutaran sebuah film yang argumentative, ingatannya kurang baik tentang apa yang diucapkan dari pada orang yang sedikit usahanya.
Dua studi tersebut memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya, upaya-upaya yang termotivasi untuk menekan perilaku yang expresive menjelaskan variasi dalam memory/ingatan. Sebuah dampak sebab musabab pada penekanan expresive ditegaskan dalam study 2, yaitu sebuah manipulasi pada penekanan expresive selam pemutaran sebuah film secara keseluruhan. Penemuan-penemuan ini memberikan kontribusi bagi sebuah perkembangan daftar bacaan, khususnya pada pengaturan emosi dan fungsi kognitif (Baumeister, Bratslaussky, Muraven, dan Tice, 1998; Rassin, 2001; Weqner, Quillian, dan Houston, 1996; Zoellner, Sacks, dan foa, 2003).
Penelitian saat ini juga mengarahkan akibat dari penekanan expresive secara spontan pada memory dalam bentuk yang bermakna secara psikologis. Akhirnya, kita membandingkan penekanan expresive pada gangguan diri yang kita anggap sebagai pilihan respon aktif yang lain dalam masalah emosi. Sati hal yang spekulative yakni, usaha-usaha intensive untuk menjauhi pemikiran tentang sebuah peristiwa mungkin memerlukan sebuah pengorbanan lebih besar pada ingatan dari pada penekanan expresive. Meskipun demikian, hasil-hasil korelatif kita dalam studi 2 menunjukkan bahwa:

- Usaha-usaha untuk menutupi perasaan selama kejadian tertentu,
- Usaha-usaha untuk menjauhi pikiran tentang kejadian seluruhnya, dikorelasikan dengan ingatan dengan tingkat yang sama.
Pada intinya korelasi-korelasi ini bukan sebuah benda pada bentuk pengaturan yang dikorelasikan satu sama lain, ketika variasi minimal yang mereka share-kan satu sama lain dipisahkan. Pada hakekatnya penemuan ini tidak berubah dan penemuan ini menyatakan untuk validitas yang berbeda pada penekanan expresive dan gangguan diri.
Studi yang ke2 itu merupakan penjelasan lanjutan dari studi1, jadi studi yang 1 adalah hasil yang menunjukkan hubungan antagonis atau perlawanan antara penekanan emosi expresive dan ingatan yang terbatas untuk dibentuk dalm konteks yang tidak jelas atau membingungkan. Usaha penekanan yang spontan memprediksikan memory yang sedikit, untuk konteks percakapan secara ekologi yang lebih valid. Studi ke2 menjelaskan, kebingungan yang spontan juga memprediksikan ingatan yang lebih sedikit atau terbatas. Ternyata penekanan emosi dan kebingungan menggunakan efek yang sama pada memory sebagai bukti pada hubungan koefisien yang sama. Penekanan manipulasi dan kebingungan juga menggunakan efek0efek secara statistik tidak bisa dibedakan pada ingatan. Dan analisis yang netral atau pertengahan menemukan efek-efek dari manupulasi ini pada usaha-usaha emosi reguler individu selama pemutaran film. Jadi, hasil ini lebih meningkatkan kepercayaan diri kita bahwa setidaknya beberapa macam usaha-usaha yang terjadi secara natural untuk mengatur emosi memprediksikan dalam ingatan.


ANALISA

Operant Reinforcement Theory: B.F. Skinner
Skinner mempunyai tiga asumsi dasar, yang menjadi asumsi psikologi dan pendekatan ilmiah, asusi itu adalah:
1. Behavior is lawful: tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu. Ilmu adalah usaha untuk menemukan keteraturan, menunjukkan bahwa event tertentu berhubungan secara teratur dengan event lain. Sama halnya dengan yang dipaparkan dalam jurnal, bahwa stimulus itu timbul tergantung pada stimulus yang diberikan, jika stimulus yang diberikan itu yang positif maka yang terkonsep dalam pikiran kita adalah yang positif, dan stimulus itu mempengaruhi emosi seseorang.
2. Behavior can be predicted: tingkah laku itu dapat diramalkan. Suatu ilmu bukan hanya menjelaskan akan tetapi juga meramalkan, dan tidak hanya menangani peristiwa masa lalu akan tetapi juga masa yang akan datang. Teori yang berdaya guna adalah teori yang memungkinkan dapat dilakukannya prediksi mengenai tingkah laku yang akan datang dan menguji prediksi itu. Dalam jurnal dijelaskan bahwa emosi seseorang akan timbul jika seseorang itu pernah merasakan, melihat, atau mendengar stimulus yang sama dengan yang dia terima pada saat itu, artinya stimulus yang dia terima sekarang telah tersimpan dimemorinya dan siap untuk muncul ketika mendapat stimulus yang sama pada masa yang akan datang.
3. Behavior can be controlled: tingkah laku dapat dikontrol. Ilmu dapat melakukan antisipasi dan membentuk tingkah laku seseorang. Skinner bukan hanya ingin mengetahui bagaimana tingkah laku, tetapi dia sangat berkeinginan memanipulasinya. Dalam studi 1 dan studi ke2 dalam jurnal disebutkan bahwa tingkah laku seseorang dapat dikontrol, yakni tingkah laku seseorang timbul karena adanya dorongan emosi, dan dengan melihat sebuah film dapat membentuk tingkah laku seseorang.
Mengapa Skinner ingin memanipulasi kehidupan manusia, karena sebagian mengontrol kejadian atau tingkah laku merupakan tes yang baik terhadap suatu teori. Menurut Skinner, functional analysis of behavior: suatu bentuk analisis tingkah laku dalam bentuk hubungan sebab akibat, bagaiman suatu respon timbul mengikuti stimulus atau kondisi tertentu, akan melihat bahwa tingkah laku sebagian besar berada di event antesedennya atau berada di lingkungannya.

Struktur kepribadian Skinner
Skinner tidak tertarik dengan variabel struktural dari kepribadian, menurutnya tingkah laku hanya dapat diubah dan dikontrol dengan mengubah lingkungan, dan kepribadian yang relatif tetap adalah tingkah laku itu sendiri. ada dua klasifikasi tipe tingkah laku, yaitu:
1. Type respondent behavior: organisme menghasilkan respon sebagai hasil langsung dari stimulus spesifik. Respon reflek termasuk dalam kelompok ini. Misalnya: dalam melihat sebuah film yang menyedihkan maka kita reflek meresponnya dengan secara tidak sengaja keluar air mata.
2. Type operant behavior: organisme mengerjakan atau memunculkan suatu respon tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksanya melakukannya. Kecenderungan timbulnya respon operan tergantung kepada efeknya terhadap lingkungan atau consequence yang mengikuti respon itu. Didalam jurnal hal ini berbeda, artinya harus ada respon sebagai hasil langsung dari stimulus spesifik, karena dalam melihat sebuah film seseorang yang tidak terstimulus akan menganggap film itu biasa aja atau tidak berkesan.

Dinamika Kepribadian
Dalam dinamika kepribadian Skinner terdapat banyak hal didalamnya, antara lain:
1. Operant conditioning: yang disebut juga instrumental conditioning. Reinforcer tidak diasosiasikan dengan stimulus yang ditimbulkan, tetapi diasosiasikan dengan respon itu sendiri beroperasi memberi reinforcement, dan Skinner menyebut respon itu sebagai operant behavior. Tingkah laku responden adalah tingkah laku reflek, yang dalam kondisioning klasik respon diusahakan dapat dimunculkan dalam situasi yang lain dengan situasi aslinya. Dalam kedua studi diatas reinforcement yang disebutkan adalah emosi yang dimanja dan emosi yang ditekan yang ternyata dalam penelitian menghasilkan respon yang sama, seharusnya keduanya berbeda, dalam emosi yang dimanja akan menghasilkan respon atau memori yang lebih bagus atau lebih kuat, karena seseorang akan merasakan kenyamanan atau akan mendapatkan hadiah setelah melakukan hal tersebut. Sedangkan pada emosi yang ditekan akan menghasilkan respon atau memori yang buruk artinya seseorang akan menganggap hal itu biasa saja bahkan akan melupakannya begitu saja.
2. Schedules reinforcement: dalam memanipulasi tingkah laku, yang penting tidak hanya wujud dari reinforcementnya tetapi juga bagaimana pengaturan pemberiannya. Reinforcement yang diadministrasikan dengan cermat memungkinkan kita untuk membentuk tingkah laku. Skedul pemberian reinforcement adalah sebagai berikut:

Continuous Reinforcement Intermittent Reinforcement

Fixed interval Fixed ratio

Variabel interval Variable ratio

Ø Continuous reinforcement: setiap kali muncul tingkah laku yang dikehendaki diberikan reinforcement. Kalau reinforcement itu dihentikan maka tingkah laku yang dikehendakai dengan cepat akan mengalami ekstingsing dan hilang. Dalam kasus studi diatas dikatakan bahwa jika seseorang melihat tayangan film yang sama dengan kehidupannya maka dengan mudah dia akan hanyut dalam ceritanya, karena film itu sebagai reinforcement untuk mengingatkan kembali apa yang pernah dialami seseorang.
Ø Intermittent: berselang berdasarkan waktu atau berdasarkan perbandingan. Reinforcement yang diberikan misalnya berselang satu hari, maka respon yang didapatkannya juga tidak akan maksimal karena selang waktu yang lama dan kemungkinan akan mudah dilupakannya.
Ø Fixed interval: pemberian reinforcement berselang teratur, misalnya tiap 5 menit sekali. Jadi jika dalam melihat film maka seseorang akan mudah mengingatnya karena reinforcement yang diberikan teratur.
Ø Variabel interval: memberi reinforcement dalam waktu yang tidak tentu, tetapi rata-ratanya sama dengan pengaturan fixed. Pada bagian ini respon yang akn ditangkap lebih lambat dibandingkan fixed.
Ø Fixed ratio: mengtur pemberian reinforcement sesudah respon yang dikehendaki muncul yang kesekian kalinya.
Ø Variabel ratio: memberikan reinforcement secara acak sesudah kesekian kali patukan dengan rata-rata sama dengan fixed ratio, akan tetapi responnya paling lambat terjadi.
Dijelaskan bahwa tingkah laku yang tidak dikehendaki dapat diperkuat tanpa sengaja: terfokus pada kesatuan atau keterdekatan reinforcement dan bukan pada maksud pemberi reinforcement. Misalnya: dalam melihat film yang tidak pernah dia ketahui akan tetapi dalam film itu terdapat tokoh yang sangat dia gemari maka dengan cepat emosi akan memberikan respon sehingga seseorang tertarik untuk melihat film tersebut.
3. Generalisasi dan diskriminasi:
Stimulus generalisasi adalah proses timbulnya respon dari stimulus yang mirip dengan stimulus yang semestinya menimbulkan respon itu. Sedangkan stimulus diskriminasi adalah kemampuan untuk membedakan stimulus, sehingga stimulus itu tidak diberi respon, walaupun mirip dengan respon yang diberi penguat. Hal ini erat kaitannya dengan orang yang belajar, dalam melihat sebuah film yang baru itu akan menjadi pelajaran baru bagi kita. Disini geberalisasi sangat penting karena tidak ada orang yang dapat berada dalam situasi yang sama persis dan melakukan respon yang sama persis pula, begitu juga sebaliknya jika tidak dapat mendeskriminasi situasi, kita akan membuat respon yang sama terhadap situasi yang berbeda, sehingga tingkah laku kita menjadi kacau.

KESIMPULAN

Dalam penelitian yang menjelaskan dua studi yang sama, yang pertama menunjukkan bahwa orang yang lebih berusaha dalam menekan emosinya selama pemutaran film yang menjijikkan diketahui ingatannya kurang bagus dari pada orang yang hanya berusaha seadanya. Sama dengan studi yang kedua, bahwa orang yang banyak berusaha dalam menekan emosinya selama pemutaran film yang argumentative diketahui ingatannya kurang baik dari pada orang yang sedikit usahanya.
Telah dijelaskan dalam asumsi dasar Skinner, Behavior is lawful: yaitu tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu, dan menunjukkan bahwa event tertentu berhubungan dengan event lain. Jadi tergantung dengan stimulus yang diberikan, jika seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menekan emosinya berarti dia tidak mendapatkan stimulus itu artinya sulit untuk membentuk tingkah laku kita. Sebaliknya jika seseorang yang hanya berusaha seadanya itu dia telah mendapatkan stimulus untuk memperkuat sehingga membentuk tingkah laku kita yang telah terkonsep dalam emosi.
Disebutkan juga dalam dinamika kepribadian Skinner, yaitu Operant conditioning dimana reinforcer tidak diasosiasikan dengan stimulus yang ditimbulkan, tetapi diasosiasikan dengan respon itu sendiri yang beroperasi memberi penguatan. Tingkah laku seseorang adalah tingkah laku reflek, yang dalam kondisioning klasik respon diusahakan dapat dimunculkan dalam situasi yang lain dengan situasi aslinya. Dalam kedua studi diatas reinforcement yang disebutkan adalah emosi yang tertata dan emosi yang ditekan yang dalam penelitian dihasilkan respon yang sama, seharusnya keduanya berbeda, dalam emosi yang tertata akan menghasilkan respon atau memori yang lebih bagus atau lebih kuat, karena seseorang mendapatkan stimulus yang kuat. Sedangkan pada emosi yang ditekan akan menghasilkan respon atau memori yang buruk artinya seseorang akan menganggap hal itu biasa saja bahkan akan melupakannya begitu saja, karena memang seseorang itu tidak mendapatkan stimulus untuk dijadikan penguat. Stimulus sendiri lebih aplikatif dalam menentukan emosi seseorang yang akan membentuk tingkah laku, oleh karena itu sesuai dengan kondisi seseorang.
Kepribadian itu tergantung pada stimulus yang diberikan, yang emosional memory berada didalamnya. Jadi jika ada dua orang diberikan stimulus yang berbeda maka kepribadian yang terbentuk juga akan berbeda. Seseorang yang banyak diberikan stimulus akan terus berusaha sebaik mungkin untuk mencapai sesuatu yang dituju, bahkan jika dalam waktu yang berbeda dia mengalami hal yang sama dan diberikan stimulus yang sama pula orang itu akan dengan mudah melakukan hal itu, karena memorinya menerimanya dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang itu tidak diberi stimulus atau hanya sedikit stimulus yang dia terima maka dia tidak akan merespon dengan baik jika dia diberikan hal yang sama ketika dia tidak mendapatkan stimulus pada waktu itu, karena pada konsep memorinya dia tidak memperoleh stimulus.



DAFTAR PUSTAKA

Hall S. Calvin, dan Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Sifat dan Behavioristik. Yogyakarta: Kanisius.
__ .Pengantar Psikologi Kepribadian Non Psikoanalitik.­__